MAKALAH PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Pajak merupakan kewajiban warga negara
yang menunjukan peran serta dari seluruh masyarakat dalam pembiayaan pemerintah
untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan. Pajak pada dasarnya merupakan
peralihan sebagian kekayaan dari masyarakat kepada negara yang dimungkinkan
oleh undang-undang pajak. Peralihan kekayaan tersebut membuat pajak dipandang
dari dua sisi yang berbeda. Pandangan masyarakat seringkali pajak dianggap
sebagai beban. Di sisi lain bagi pemerintah
harus dipungut karena terbukti pajak memberikan kontribusi yang cukup
besar terhadap penerimaan pajak.
Pajak pertambahan nilai adalah Pajak
yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam
peredarannya dari produsen ke konsumen Pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan
pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah
Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus
disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak
keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak
masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat
produknya.
Dalam peningkatan dana dalam negeri,
Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah Perpajakan bukan
hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait didalamnya akan
tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk mengetahui
masalah Perpajakan di Indonesia. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena
digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam
menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan
jasa.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang
berlaku atas penyerahan barang kena pajak maupun jasa kena pajak adalah tarif
tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak ada penggolongan dengan tarif
yang berbeda.
Namun pada kenyataanya masyarakat kita,
khusunya yang berada di desa-desa dan masyrakat awam, tidak cukup mengenal atau bahkan tidak tahu
sama sekali mengenai PPn dan PPn BM, mulai dari apa itu PPn dan PPn BM, apa
dasar hukumnya, apa saja objeknya, bagaimana cara penghitungannya,
mekanismenya, karaketristiknya, dan lain sebagainya.
Maka dari itu berangkat dari
permasalahan di atas, mengenai ketidaktahuan sebagian msyarakat Indonesia
tentang PPn dan PPn BM, kami terinspirasi untuk menyajikan secara menyeluruh,
detail, dan serinci mungkin, mengenai
permasalahan PPn dan PPn Bm di Indonesia dalam bentuk suatu Makalah.
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan topik tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, beberapa hal yang
perlu diungkap dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Apa
yang dimaksud & dasar hukum atas PPN dan PPnBM yang berlaku di indonesia ?
2. Apa
saja karakteristik dari PPN dan PPnBM ?
3. Apa
yang menjadi subjek pajak dari PPN dan PPnBM ?
4. Apa
yang menjadi objek pajak PPN dan PPnBM ?
5. Bagaimana
ketentuan tarif PPN dan PPnBM ?
6. Bagaimana
mekanisme pengenaan PPN dan PPnBM ?
7. Bagaimana
cara menghitung PPN dan PPnBM ?
8. Bagaimana
proses penyetoran dan pelaporan PPN dan PPnBM ?
3. Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan pada permasalahan yang
diungkapkan pada rumusan masalah, tujuan penelitian tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah.
1. Untuk
menjelaskan apa itu PPN dan PPnBM dan dasar hukum atas berlakunya PPN dan PPnBM
di Indonesia.
2. Memaparkan
karakteristik dari PPN dan PPnBM.
3. Untuk
menjelaskan apa saja yang menjadi subjek dalam PPN dan PPnBM.
4. Untuk
menjelaskan tentang apa saja yang menjadi objek PPN dan PPnBM.
5. Memaparkan
ketentuan tarif PPN dan PPnBM.
6. Untuk
mendeskripsikan mekanisme pengenaan PPN dan PPnBM.
7. Untuk
menjelaskan cara perhitungan PPN dan PPnBM.
8. Untuk
menjelaskan proses penyetoran dan pelaporan PPN dan PPnBM.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
dan Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
PPN
(Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah
Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan
distribusi. Dalam Dirjen Pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didefinisikan
sebagai pajak yang dikenakan atas setiap pembelian Barang Kena Pajak dan pemanfaatan
Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean.
Pada
dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga dikenakan PPN,
kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN. Misalnya barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya dan uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Ada juga barang
yang merupakan Barang Kena Pajak tetapi PPNnya dibebaskan, misalnya buku
pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan barang-barang tertentunya.
Berdasarkan
undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang
dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang
tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Barang
mewah yang harus dikenakan PPnBM menurut undang undang adalah barang yang bukan
merupakam kebutuhan pokok, barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat
tertentu, barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi,
dan barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukan status atau kelas sosial.
Dasar
hukum yang melindungi pengenaan PPN dan PPnBM yang diatur dalam undang-undang
adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984.
b. Peraturan
Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
c. Peraturan
Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak
Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
d. Peraturan
Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
2006.
e. Peraturan
Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena
Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan
dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.
f. Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena
Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.
2. Karakteristik
dari Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) memiliki
karakteristik yang berbeda. PPN mempunyai karakteristik sebagai berikut.
a. Pajak
Objektif. Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang
timbulnya kewajiban pajaknya sangat ditentukan oleh objek pajak. Keadaan subjek
pajak tidak menjadi penentu kecuali untuk kasus tertentu.
b. Dikenakan
pada setiap rantai distribusi (Multi Stage Tax). Sepanjang suatu transaksi
memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam angka 2, maka pihak PKP Penjual
berkewajiban memungut PPN atas transaksi yang terjadi dan kemudian menyetorkan
ke Kas Negara dan melaporkannya.
c. Menggunakan
mekanisme pengkreditan. Sesuai dengan namanya maka pada hakekatnya PPN hanya
dikenakan atas nilai tambah yang terjadi atas BKP karena adanya proses pabrikasi
maupun distribusi. Oleh karena itu PPN yang terutang dalam suatu Masa Pajak
diperhitungkan terlebih dahulu dengan PPN yang telah dibayarkan oleh PKP pada
saat pembelian bahan baku dan faktor produksi lainnya, sehingga meskipun PPN
dikenakan beberapa kali namun tidak menimbulkan efek pajak berganda.
d. Merupakan
pajak atas konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu salah satu syarat
dikenakannya PPN atas suatu transaksi adalah bahwa BKP/JKP dikonsumsi di dalam
Daerah Pabean. Hal inilah yang mendasari pengenaan PPN dengan tarif 0% atas
kegiatan ekspor sedangkan untuk kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%.
e. Merupakan
beban konsumen akhir. PPN merupakan pajak tidak langsung sehingga beban
pajaknya bisa dialihkan oleh PKP. Pengenaan PPN yang dilakukan beberapa kali tidak
menjadi beban PKP karena beban PPN tersebut pada akhirnya akan dialihkan kepada
konsumen yang menikmati BKP pada rantai terakhir.
f. Netral
terhadap persaingan. PPN bukan merupakan beban yang menambah harga pokok
penjualan karena PPN menganut sistem pengkreditan yang memungkinkan PPN yang
dibayarkan pada saat pembelian diperhitungkan dengan PPN yang harus dipungut
saat penjualan.
g. Menganut
destination principle. Untuk menentukan suatu transaksi dikenakan PPN atau
tidak, terlebih dahulu harus dilihat di negara mana pihak konsumen berada.
Apabila konsumen berada di luar negeri maka transaksi tersebut tidak dikenakan
PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri.
Sedangkan dalam Pajak Penjualan
atas Barang Mewah karakteristiknya adalah.
a. Pajak
Objektif. Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang
timbulnya kewajiban pajaknya sangat ditentukan oleh objek pajak. Keadaan subjek
pajak tidak menjadi penentu kecuali untuk kasus tertentu.
b. PPnBM
merupakan pungutan tambahan disamping PPN.
c. PPnBM
hanya dipungut satu kali, yaitu pada saat impor barang kena pajak (BKP) yang
tergolong mewah, atau atas BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh
pengusaha kena pajak (PKP) pabrikan.
d. PPnBM
tidak dapat dikreditkan dengan PPN.
e. Apabila
ekspor barang kena pajak (BKP) yang tergolong mewah, PPnBM yang dibayar saat
perolehannya dapat diminta kembali.
3. Subjek
Pajak Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Subjek
pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi syarat-syarat
subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak
baru menjadi wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif.
Subjek
pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena itu untuk menjadi subjek
pajak tidak perlu menjadi subjek hukum. Sehingga firma, perkumpulan, warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan dapat menjadi subjek pajak. Demikian
juga orang gila, anak yang masih di bawah umur dapat menjadi subjek atau wajib
pajak, tetapi untuk mereka perlu ditunjuk orang atau wali yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya.
Pengusaha
Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pengusaha diwajibkan menjadi PKP apabila jumlah peredaran bruto dalam satu
tahun lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah).
Pengusaha
kecil dibebaskan dari kewajiban mengenakan/memungut PPN atas penyerahan Barang
Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) sehingga tidak perlu melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali apabila
Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka
Undang-undang PPN & PPnBM berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.
Pengusaha
kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak
lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah)
1. Subjek
Pajak Pertambahan Nilai
Subyek
PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha
yang melakukan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena
Pajak (JKP).yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tidak termasuk pengusaha
kecil yang batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil
tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Berdasarkan
PP No. 22 Tahun 1985, PP No.28 Tahun 1988 serta PP No. 75 Tahun 1991 yang dapat
disebutkan beberapa contoh yang termasuk pengusaha kena pajak sebagai subjek
PPN yaitu :
a. Pabrikan.
b. Importir.
c. Indentor.
d. Agen
utama atau penyalur utama.
e. Pengusaha
pemegang hak atau menggunakan paten atau merek dagang Barang Kena Pajak.
f. Pedagang
besar.
g. Eksportir.
h. Pedagang
eceran beras.
i.
Pemborong atau
Kontraktor.
j.
Pengusaha jasa bidang
komunikasi.
k. Pengusaha
jasa angkatan udara dalam negeri.
l.
Pengusaha lain yang
ditetapkan oleh direktur jendral pajak.
2. Subjek
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Subyek
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah PKP yang menghasilkan BKP yang
tergolong mewah dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya dan pengusaha
yang mengimpor barang yang tergolong mewah.
4. Objek
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Pengertian
Objek Pajak ialah segala sesuatu yang karena undang-undang dapat dikenakan
pajak. Kata "dapat" dikenakan pajak mengandung makna bahwa objek
pajak boleh atau tidak boleh kena pajak. Pengenaan pajak terhadap suatu objek
harus dipertimbangkan secara maksimal agar tidak menimbulkan permasalahan dalam
masyarakat. Oleh karena itu, penentuan suatu objek untuk dikenakan pajak lebih
dahulu dilakukan penelitian sehingga dapat menciptakan kemanfaatan bagi negara
maupun daerah selaku pihak yang membutuhkan pajak.
1. Objek
Pajak Pertambahan Nilai
a. penyerahan
Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b. impor
Barang Kena Pajak;
c. penyerahan
Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
e. pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
f. ekspor
Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
2. Barang
Kena Pajak (BKP) yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
a. barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang-barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan
dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya;
d. uang,
emas batangan, dan surat-surat berharga.
3. Jasa
Kena Pajak (JKP) yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
a. jasa
di bidang pelayanan kesehatan medik;
b. jasa
di bidang pelayanan sosial;
c. jasa
di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa
di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
e. jasa
di bidang keagamaan;
f. jasa
di bidang pendidikan;
g. jasa
di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
h. jasa
di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i.
jasa di bidang angkutan
umum di darat dan di air;
j.
jasa di bidang tenaga
kerja;
k. jasa
di bidang perhotelan;
l.
jasa yang disediakan
oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
4. Objek
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
a. Kelompok
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen),
adalah :
-
kelompok alat rumah
tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan pesawat penerima siaran
televisi;
-
kelompok peralatan dan
perlengkapan olah raga;
-
kelompok mesin pengatur
suhu udara;
-
kelompok alat perekam
atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran radio;
-
kelompok alat
fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya.
b. Kelompok
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen),
adalah:
-
kelompok alat rumah
tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang disebut pada huruf a;
-
kelompok hunian mewah
seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya;
-
kelompok pesawat
penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena, selain yang disebut
pada huruf a;
-
kelompok mesin pengatur
suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering, pesawat elektromagnetik dan
instrumen musik;
-
kelompok wangi-wangian;
c. Kelompok
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen),
adalah:
-
kelompok kapal atau
kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk keperluan negara atau
angkutan umum;
-
kelompok peralatan dan
perlengkapan olah raga selain yang disebut pada huruf a.
d. Kelompok
Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh
persen), adalah :
-
kelompok minuman yang
mengandung alkohol;
-
kelompok barang yang
terbuat dari kulit atau kulit tiruan;
-
kelompok permadani yang
terbuat dari sutra atau wool;
-
kelompok barang kaca
dari kristal timbal dari jenis yang digunakan untuk meja, dapur, rias, kantor,
dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu;
-
kelompok barang-barang
yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia atau dari logam yang
dilapisi logam mulia atau campuran daripadanya;
-
kelompok kapal atau
kendaraan air lainnya, sampan dan kano, selain yang disebut pada huruf c,
kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;
-
kelompok balon udara
dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga
penggerak;
-
kelompok peluru senjata
api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara;
-
kelompok jenis alas
kaki;
-
kelompok barang-barang
perabot rumah tangga dan kantor;
-
kelompok barang-barang
yang terbuat dari porselin, tanah lempung cina atau keramik;
-
Kelompok barang-barang
yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu selain batu jalan atau batu
tepi jalan.
e. Kelompok
Barang kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen),
adalah:
-
kelompok permadani yang
terbuat dari bulu hewan halus;
-
kelompok pesawat udara
selain yang dimaksud pada huruf d, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan
udara niaga;
-
kelompok peralatan dan
perlengkapan olah raga selain yang disebut pada huruf a dan huruf c;
-
kelompok senjata api
dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara.
f. Kelompok
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima
persen), adalah :
-
kelompok minuman yang
mengandung alkohol selain yang disebut pada huruf d;
-
kelompok barang-barang
yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia dan/atau mutiara atau
campuran daripadanya;
-
kelompok kapal pesiar
mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum.
g. Kelompok
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh
persen), adalah :
-
kendaraan bermotor
untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang
termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder; dan
-
kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain
sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan
kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
h. Kelompok
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh
persen), adalah :
-
kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain
sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau dengan nyala
kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2),
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc; dan
-
kendaraan bermotor
dengan kabin ganda (Double cabin), dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak
tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan
motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1
(satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak
(4x4), dengan semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari
5 (lima) ton.
i.
Kelompok Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen),
adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi, berupa:
-
kendaraan bermotor
sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc; dan
-
kendaraan bermotor
selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala
kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4)
dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
j.
Kelompok Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen),
adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi, berupa :
-
kendaraan bermotor
selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api, dengan sistem 1
(satu) gandar penggerak (4x2) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc
sampai dengan 3000 cc;
-
kendaraan bermotor
dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain sedan
atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 3000 cc; dan
-
kendaraan bermotor
dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa sedan atau
station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar
penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan
2500 cc.
k. Kelompok
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima
puluh persen) adalah semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.
l.
Kelompok Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 60% (enam puluh persen),
adalah:
-
kendaraan bermotor
beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc sampai dengan 500
cc; dan
-
kendaraan khusus yang
dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung, dan kendaraan
semacam itu.
m. Kelompok
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh
puluh lima persen), adalah :
-
kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan
motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau
station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem
2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc;
-
kendaraan bermotor
pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor
bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel) berupa sedan atau station wagon dan
selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau
dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder
lebih dari 2500 cc;
-
kendaraan bermotor
beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc;
-
trailer, semi-trailer
dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.
n. Kendaraan
bermotor yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
adalah:
-
kendaraan bermotor yang
digunakan untuk kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam
kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan angkutan umum;
-
kendaraan bermotor yang
digunakan untuk tujuan protokoler kenegaraan;
-
kendaraan bermotor
untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang atau lebih termasuk pengemudi, dengan
motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua
kapasitas isi silinder, yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI;
-
kendaraan bermotor yang
digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.
5. Tarif
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Tarif
Pajak adalah dasar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang menjadi
tanggungannya. Tarif pajak biasanya berupa persentase (%). Dasar Pengenaan
Pajak adalah Nilai berupa uang yang dijadikan dasar untuk menghitung pajak yang
terutang.
1. Tarif
Pajak Pertambahan Nilai
a. Tarif
Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
b. Tarif
Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen).
c. Dengan
Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15%
(lima belas persen).
2. Tarif
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
a. Tarif
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan
paling tinggi 200% (dua ratus persen).
b. Atas
ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0%
(nol persen).
6. Mekanisme
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Undang-Undang
PPN 1984 menganut metode kredit pajak serta metode faktur pajak. Dalam metode
ini PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau JKP oleh pengusaha kena pakjak
(PKP). PPN dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan
distribusi. Unsur pengenaan pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak
dapat dihindari dengan menerapkanya mekanisme pengkreditan pajak masukan
(metodw kredit pajak). Untuk melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang
digunakan adalah faktur pajak (metode faktur pajak). Mekanisme pengenaan PPn
dapat digambarkan sebagi berikut:
a. Pada
saat mebeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi
pembeli yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak
dimuka dan disebut dengan Pjak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti berupa
faktur pajak.
b. Pada
saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi
penjual, PPN tersebut merupakan pajak keluaran. Sebagai bukti telah memungut
PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
c. Apabila
dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan
takwim) jumlah pajak keluaran lebih besar dari pada jumlah pajak masukan,
selisihnya harus disetorkan ke kas negara.
d. Apabila
dalam suatu masa pajak jumlah pajak keluaran lebih kecil dari pada jumlah pajak
masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke
masa pajak berikutnya.
e. Pelaporan
penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
7. Faktur
Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Faktur
Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena
Pajak (JKP). Orang Pribadi atau Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak. Pengusaha Kena Pajak wajib membuat
Faktur Pajak untuk setiap:
a. penyerahan
Barang Kena Pajak;
b. penyerahan
Jasa Kena Pajak;
c. ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
d. ekspor
Jasa Kena Pajak.
Pengusaha Kena Pajak dapat membuat
1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan
kalender yang disebut dengan Faktur Pajak gabungan.
1. Saat
Pembuatan Faktur Pajak
Faktur
Pajak harus dibuat pada:
a. saat
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat
penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat
penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
atau
d. saat
lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Faktur Pajak gabungan harus dibuat
paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP setelah jangka waktu 3 bulan
sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, dianggap tidak menerbitkan Faktur
Pajak.
2. Dokumen
yang dipersamakan dengan Faktur Pajak
Dokumen
tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak paling sedikit harus memuat :
a. nama,
alamat dan NPWP yang melakukan ekspor atau penyerahan;
b. nama
pembeli BKP atau penerima JKP;
c. jumlah
satuan barang apabila ada;
d. Dasar
Pengenaan Pajak; dan
e. jumlah
pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor.
3. Sanksi
PKP
dikenai sanksi administrasi sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak apabila tidak
membuat Faktur Pajak, tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap, dan melaporkan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak.
8. Perhitungan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
PPN
dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai
untuk menghitung pajak yang terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian,
Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan. Macam macam DPP yang dipakai dalam pengenaan PPN dan PPnBM
adalah:
a. Harga
Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP),
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
b. Penggantian
adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor Jasa Kena
Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN
yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar
oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima
manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
c. Nilai
Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut Undang-Undang PPN.
d. Nilai
Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
e. Nilai
lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak
dengan Keputusan Menteri Keuangan. Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut:
-
untuk pemakaian sendiri
BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba
kotor;
-
untuk pemberian
cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi
laba kotor;
-
untuk penyerahan media
rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
-
untuk penyerahan film
cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
-
untuk penyerahan produk
hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
-
untuk Barang Kena Pajak
berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah
harga pasar wajar;
-
untuk penyerahan Barang
Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena
Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan;
-
untuk penyerahan Barang
Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
-
untuk penyerahan jasa
pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau
jumlah yang seharusnya ditagih; atau
-
untuk penyerahan jasa
biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Berikut
merupakan contoh cara menghitung PPN dan PPnBM:
1. PKP
“A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar
Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak “A”.
2. PKP
“B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian sebesar
Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang
dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar
Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak “B”.
3. Seseorang
mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor sebesar
Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
= 10% x Rp15.000.000,00
= Rp 1.500.000,00
4. Pengusaha
Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai
Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut
selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%. Penghitungan
PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut adalah:
a. Dasar
Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
b. PPN
= 10% x Rp5.000.000,00 = Rp500.000,00
c. PPn
BM = 20% x Rp5.000.000,00 = Rp1.000.000,00
Kemudian
PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP
yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%. Oleh
karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga
BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya
PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn BM yang
terutang adalah :
a. Dasar
Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
b. PPN
= 10% x Rp50.000.000,00 = Rp5.000.000,00
c. PPn
BM = 35% x Rp50.000.000,00 = Rp17.500.000,00
PPN
sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi
PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”.
Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan
PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.
9. Proses
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah
Pemungut
PPN/PPnBM yaitu Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Bendahara Pemerintah Pusat
dan Daerah, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyetor PPN/PPnBM yang
telah dipungut, sedangkan pengusaha kena pajak (PKP) wajib menyetorkan :
a. PPN
yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran.
Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila Pajak
Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPnBM
yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
c. PPN/
PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan
Surat Tagihan Pajak (STP)
Penyetoran pajak yang terhutang
dapat dilakukan di kantor pos dan gito atau di bank persepsi.
1. Saat
Penyetoran PPN/PPnBM
a. PPN
dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
b. PPN
dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor
sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
c. PPN/PPnBM
atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan
apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen Impor.
d. PPN/PPnBM
yang pemungutannya dilakukan oleh:
-
Bendahara Pemerintah,
harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
-
Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas Impor, harus disetor dalam jangka
waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
e. PPN
dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus
dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O)
ditebus.
2. Saat
Pelaporan PPN/PPnBM
a. PPN
dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. PPN
dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi
segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
c. PPN
dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
-
Bendahara Pemerintah
harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
-
Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
d. Untuk
penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh
PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling
lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
BAB
III
PENUTUP
1. Simpulan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) lebih menunjukan sebagai identitas dari
suatu sistem pemungutan pajak atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak,
mengenakan pajak atas nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu
yang dikonsumsi. Namun sebelum barang
atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada
setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian,
pemungutan pajak secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena
adanya metode perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh
Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen
tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidak mempengaruhi
persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.
2. Saran
Berdasarkan uraian makalah perpajakan
tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM) ini diharapkan dapat mengaplikasikan teori yang didapatkan dari materi
ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
A. Pengantar
1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
a.
Pajak Objektif. Yang dimaksud dengan pajak
objektif adalah suatu jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajaknya sangat
ditentukan oleh objek pajak. Keadaan subjek pajak tidak menjadi penentu kecuali
untuk kasus tertentu.
b.
Dikenakan pada setiap rantai distribusi
(Multi Stage Tax). Sepanjang suatu transaksi memenuhi syarat sebagaimana
disebutkan dalam angka 2, maka pihak PKP Penjual berkewajiban memungut PPN atas
transaksi yang terjadi dan kemudian menyetorkan ke Kas Negara dan
melaporkannya.
c.
Menggunakan mekanisme pengkreditan. Sesuai
dengan namanya maka pada hakekatnya PPN hanya dikenakan atas nilai tambah yang
terjadi atas BKP karena adanya proses pabrikasi maupun distribusi. Oleh karena
itu PPN yang terutang dalam suatu Masa Pajak diperhitungkan terlebih dahulu
dengan PPN yang telah dibayarkan oleh PKP pada saat pembelian bahan baku dan
faktor produksi lainnya, sehingga meskipun PPN dikenakan beberapa kali namun
tidak menimbulkan efek pajak berganda.
d.
Merupakan pajak atas konsumsi dalam
negeri. Oleh karena itu salah satu syarat dikenakannya PPN atas suatu transaksi
adalah bahwa BKP/JKP dikonsumsi di dalam Daerah Pabean. Hal inilah yang
mendasari pengenaan PPN dengan tarif 0% atas kegiatan ekspor sedangkan untuk
kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%.
e.
Merupakan beban konsumen akhir. PPN
merupakan pajak tidak langsung sehingga beban pajaknya bisa dialihkan oleh PKP.
Pengenaan PPN yang dilakukan beberapa kali tidak menjadi beban PKP karena beban
PPN tersebut pada akhirnya akan dialihkan kepada konsumen yang menikmati BKP
pada rantai terakhir.
f.
Netral terhadap persaingan. PPN bukan
merupakan beban yang menambah harga pokok penjualan karena PPN menganut sistem
pengkreditan yang memungkinkan PPN yang dibayarkan pada saat pembelian
diperhitungkan dengan PPN yang harus dipungut saat penjualan.
g.
Menganut destination principle. Untuk
menentukan suatu transaksi dikenakan PPN atau tidak, terlebih dahulu harus
dilihat di negara mana pihak konsumen berada. Apabila konsumen berada di luar
negeri maka transaksi tersebut tidak dikenakan PPN karena PPN adalah pajak atas
konsumsi dalam negeri.
2. Dasar Hukum
a.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000
jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000
tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000
tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006.
e.
Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000
tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau
Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.
f.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001
tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat
Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2007.
B. Objek Pajak
1. Objek Pajak Pertambahan Nilai
a.
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b.
impor Barang Kena Pajak;
c.
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
f.
ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak.
2. Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai
a.
barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b.
barang-barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c.
makanan dan minuman yang disajikan di
hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya;
d.
uang, emas batangan, dan surat-surat
berharga.
3. Jasa Kena Pajak yang tidak dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai
a.
jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
b.
jasa di bidang pelayanan sosial;
c.
jasa di bidang pengiriman surat dengan
perangko;
d.
jasa di bidang perbankan, asuransi, dan
sewa guna usaha dengan hak opsi;
e.
jasa di bidang keagamaan;
f.
jasa di bidang pendidikan;
g.
jasa di bidang kesenian dan hiburan yang
telah dikenakan pajak tontonan;
h.
jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat
iklan;
i.
jasa di bidang angkutan umum di darat dan
di air;
j.
jasa di bidang tenaga kerja;
k.
jasa di bidang perhotelan;
l.
jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam
rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
4. Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah
a.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah :
b.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah:
c.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah:
d.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen), adalah :
e.
Kelompok Barang kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen), adalah:
f.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah :
g.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah :
h.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah :
i.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
j.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen), adalah kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa :
k.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) adalah semua jenis kendaraan
khusus yang dibuat untuk golf.
l.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 60% (enam puluh persen), adalah:
m.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah :
n.
Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari
pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah:
C. Tarif Pajak
1. Pajak Pertambahan Nilai
a.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10%
(sepuluh persen).
b.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor
Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen).
c.
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5%
(lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).
2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
a.
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh
lima persen).
b.
Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar